Glitter Words

Izinkan aku cuti dari dakwah ini

|

Jalanan ibukota masih saja ramai hingga larut malam ini, dengan kendaraan yang terus berlalu lalang, juga dengan kehidupan manusia-manusia malam yang seakan tidak akan pernah mati. Namun kini hatiku tak seramai jalanan di kota ini. Sunyi… Itulah yang sedang kurasakan. Bergelut dengan aktifitas dakwah yang menyita banyak perhatian, baik tenaga, harta, waktu dan sebagainya, seakan menempa diriku untuk terus belajar menjadi mujahid tangguh.

Tapi kini, hatiku sedang dirundung kegalauan. Galau akan saudara-saudaraku dalam barisan dakwah yang katanya amanah, komitmen, bersungguh-sungguh namun seakan semua itu hanyalah teori-teori dalam pertemuan mingguan. Hanya dibahas, ditanya-jawabkan untuk kemudian disimpan dalam catatan kecil atau buku agenda yang sudah lusuh hingga pekan depan mempertemukan mereka lagi, tanpa ada amal perbaikan yang lebih baik. Ya… mungkin itu yang ada dibenakku saat ini tentang su’udzhan-ku terhadap mereka, setelah seribu satu alasan untuk berhusnudzhan.


Kini kutermenung kembali akan hakikat dakwah ini. Sebenarnya apa yang kita cari dari dakwah? Dimanakah yang dinamakan konsep amal jama’i yang sering diceritakan indah? Apakah itu hanya pemanis cerita tentang dakwah belaka? Apakah ini yang disebut ukhuwah? Sering terlontarkannya kata-kata “afwan akh, ana gak bisa bantu banyak…” atau sms yang berbunyi “afwan akh, ana gak bisa datang untuk syuro malam ini…” atau kata-kata berawalan “afwan akh…” lainnya dengan seribu satu alasan yang membuat seorang akh tidak bisa hadir untuk sekedar merencanakan strategi-strategi dakwah kedepannya. Kalau memang seperti itu hakikat dakwah maka cukup sudah “Izinkan aku untuk cuti dari dakwah ini”, mungkin untuk seminggu, sebulan, setahun atau bahkan selamanya. Lebih baik aku konsenstrasi dengan studiku yang kini sedang berantakan, atau dengan impian-impianku yang belum terpenuhi, atau… dengan lebih memperhatikan ayah dan ibuku yang sudah semakin tua, toh tanpa aku pun dakwah tetap berjalan, bukan???

Sahabat-sahabatku… . Memang dalam dunia dakwah yang sedang kita geluti seperti sekarang ini, tidak jarang kita mengalami konflik atau permasalahan- permasalahan. Dari sekian permasalahan tersebut terkadang ada konflik-konflik yang timbul di kalangan internal aktivis dakwah sendiri. Pernah suatu ketika dalam aktivitas sebuah barisan dakwah, ada seorang ikhwan yang mengutarakan sakit hatinya terhadap saudaranya yang tidak amanah dengan tugas dan tanggungjawab dakwahnya. Di lain waktu di sebuah lembaga dakwah kampus, seorang akhwat “minta cuti” lantaran sakit hatinya terhadap akhwat lain yang sering kali dengan seenaknya berlagak layaknya seorang bos dalam berdakwah.

Pernah pula suatu waktu seorang kawan bercerita tentang seorang ikhwan yang terdzalimi oleh saudara-saudaranya sesama aktifis dakwah. Sebuah kisah nyata yang tak pantas untuk terulang namun penuh hikmah untuk diceritakan agar menjadi pelajaran bagi kita. Ceritanya, di akhir masa kuliahnya sebut saja si X (ikhwan yang terdzalimi) hanya mampu menyelesaikan studinya dalam waktu yang terlalu lama, enam tahun. Sedangkan di lain sisi, teman-temannya sesama (yang katanya) aktifis dakwah lulus dalam waktu empat tahun. Singkat cerita, ketika si X ditanya mengapa ia hanya mampu lulus dalam waktu enam tahun sedangkan teman-temannya lulus dalam waktu empat tahun? Apa yang ia jawab? Ia menjawab “Aku lulus dalam waktu enam tahun karena aku harus bolos kuliah untuk mengerjakan tugas-tugas dakwah yang seharusnya dikerjakan oleh saudara-saudaraku yang lulus dalam waktu empat tahun.”
Subhanallah… di satu sisi kita merasa bangga dengan si X, dengan militansinya yang tinggi beliau rela untuk bolos dan mengulang mata kuliah demi terlaksananya roda dakwah agar terus berputar dengan mengakumulasikan tugas-tugas dakwah yang seharusnya dikerjakan teman-temannya. Namun di sisi lain kita pun merasa sedih… sedih dengan kader-kader dakwah (saudara-saudaranya Si X) yang dengan berbagai macam alasan duniawi rela meninggalkan tugas-tugas dakwah yang seharusnya mereka kerjakan.

Sahabat…. Semoga kisah tersebut tidak terulang kembali di masa kita dan masa setelah kita, cukuplah menjadi sebuah pelajaran berharga…. Semoga kisah tersebut membuat kita sadar, bahwa setiap aktifitas yang di dalamnya terdapat interaksi antar manusia, termasuk dakwah, kita tiada akan bisa mengelakkan diri dari komunikasi hati. Ya, setiap aktifis dakwah adalah manusia-manusia yang memiliki hati yang tentu saja berbeda-beda. Ada aktifis yang hatinya kuat dengan berbagai macam tingkah laku aktifis lain yang dihadapkan kepadanya. Tapi jangan pula kita lupa bahwa tidak sedikit aktifis-aktifis yang tiada memiliki ketahanan tinggi dalam menghadapi tingkah polah aktifis dakwah lain yang kadang memang sarat dengan kekecewaan-kekecewa an yang sering kali berbuah pada timbulnya sakit hati. Dan kesemuanya itu adalah sebuah kewajaran sekaligus realita yang harus kita pahami dan kita terima.

Namun apakah engkau tahu wahai sahabat-sahabatku? Tahukah engkau bahwa seringkali kita melupakan hal itu? Seringkali kita memukul rata perlakuan kita kepada sahabat-sahabat kita sesama aktifis dakwah, dengan diri kita sebagai parameternya. Begitu mudahnya kita melontarkan kata-kata “afwan”, “maaf” atau kata-kata manis lainnya atas kelalaian-kelalaian yang kita lakukan, tanpa dibarengi dengan kesadaran bahwa sangat mungkin kelalaian yang kita lakukan itu ternyata menyakiti hati saudara kita. Dan bahkan sebagai pembenaran kita tambahkan alasan bahwa kita hanyalah manusia biasa yang juga dapat melakukan kekeliruan. Banyak orang bilang bahwa kata-kata “afwan”, “maaf” dan sebagainya akan sangat tak ada artinya dan akan sia-sia jika kita terus-menerus mengulangi kesalahan yang sama.

Wahai sahabat-sahabatku… memang benar bahwasanya aktifis dakwah hanyalah manusia biasa, bukan malaikat, sehingga tidak luput dari kelalaian, kesalahan dan lupa. Tapi di saat yang sama sadarkah kita bahwa kita sedang menghadapi sosok yang juga manusia biasa? bukan superman, bukan pula malaikat yang bisa menerima perlakuan seenaknya. Sepertinya adalah sikap yang naif ketika kesadaran bahwa aktifis dakwah hanyalah manusia biasa, hanya ditempelkan pada diri kita sendiri.

Seharusnya kesadaran bahwa aktifis dakwah adalah manusia biasa itu kita tujukan juga pada saudara kita sesama aktivis dakwah, bukan cuma kepada kita sendiri. Dengan begitu kita tidak bisa dengan seenaknya berbuat sesuatu yang dapat mengecewakan, membuat sakit hati, yang bisa jadi merupakan sebuah kezhaliman kepada saudara-saudara kita.

Sahabat…adalah bijaksana bila kita selalu menempatkan diri kita pada diri orang lain dalam melakukan sesuatu, bukan sebaliknya. Sehingga semisal kita terlambat atau tidak bisa datang dalam sebuah aktivitas dakwah atau melakukan kelalaian yang lain, bukan hanya kata “afwan” yang terlontar dan pembenaran bahwa kita manusia biasa yang bisa terlambat atau lalai yang kita tujukan untuk saudara kita. Tapi sebaliknya kita harus dapat merasakan bagaimana seandainya kita yang menunggu keterlambatan itu? Atau bagaimana rasanya berjuang sendirian tanpa ada bantuan dari saudara-saudara kita? Sehingga dikemudian hari kita tidak lagi menyakiti hati bahkan menzhalimi saudara-saudara kita. Sehingga kata-kata “Akhi… ukhti… Izinkan aku cuti dari dakwah ini” tidak terlontar dari mulut saudara-saudara kita sesama aktifis dakwah. Semoga…

~an Sri Handayani an Farizal Al Boncelli an milis Alumni ROHIS 49

[cara bacanya : dari seorang ADF bernama Sri Handayani (makasih teh atas kirimannya! :) yang ditulis oleh Farizal Al Boncelli yang didapat dari milis Alumni ROHIS 49]

~~~~~~~~^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^~~~~~~~~
Futur adalah penyakit dakwah yang senantiasa mengintai aktifis dakwah kapan saja. Sekali futur maka akan sulit untuk dibangkitkan lagi. Oleh karena itu penyakit ini harus senantiasa diwaspadai. Monitor murabbi dan kesolidan barisan sangat dibutuhkan agar seorang mujahid tidak futur di tengah jalan.....

Baca Selengkapnya

Dakwah Fardiyah

|

Ternyata untuk berdakwah utamanya harus melalui pendekatan personal, baik dari orang terdekat kita atau orang yang sama sekali baru kita jumpai atau baru berkenalan. Utamanya hal ini dilakukan untuk kita yang tidak berkapasitas sebagai publik figure, ulama, atau ustadz maka dakwah Fardiyah (berdakwah kepada perorangan) menjadi pilihan utama yang bisa dan sangat mungkin dilakukan.



Setidaknya ada tiga landasan dalam melakukan dakwah fardiyah, diambil dari syariahonline ;

Landasan utama dakwah fadiyah adalah kematangan pemahaman atas ajaran Islam. Ini modal dasar yang paling asasi untuk dimiliki oleh siapa pun yang ingin berdakwah. Dengan kematangan pemahaman dan kelengkapan wawasan Islam hingga detail perkaranya, seseorang bisa memahami pada sisi mana peluang dakwah itu bisa ditawarkan.
Misalnya bila menghadapi seorang seniman untuk dijadikan objek dakwah, maka paling tidak ?jalan masuk? yang bisa dijajaki adalah bicara tentang apresiasi Islam terhadap seni. Karena bagi seorang seniman, bila disampaikan bahwa Islam memberi ruang untuk seni dan seni itu punya peran yang penting, tentu dia akan merasa diakui eksistensi dirinya di dalam dakwah itu.
Sedangkan bila seorang da?i tidak punya wawasan yang luas dan mendalam atas ajaran Islam, bisa jadi belum apa-apa dia akan mengharamkan ini dan itu. Hasilnya alih-alih berhasil dalam dakwah, sebaliknya seniman itu sudah kabur duluan. Karena belum apa-apa sudah dilarang dan dituding-tuding. Padahal ada sekian banyak ruang yang bisa ditempati buat sosok seniman di dalam ajaran Islam.
Landasan kedua adalah kemampuan memahami latar belakang dan alur berpikir objek dakwah. Sebab apapun tindakan yang diambil seseorang, pastilah lahir dari sebuah logika dan paradigma berpikir tertentu. Baik bersifat internal maupun kesternal. Nah, logika dan paradigma inilah yang harus dipahami, bahkan bila perlu dikuasai untuk dijadikan hujjah dalam dakwah.
Bisa jadi seseorang tidak bisa begitu saja ?dihujani? dengan ayat dan hadits. ?Penghujanan? dengan ayat dan hadits hanya efektif buat para ahli syariat yang sejak awal logika berpikirnya adalah mencari dasar pijakan dari Al-Quran Al-Karim dan Sunnah.
Sementara sekian banyak lapisan masyarakat belum lagi sampai demikian dalam logika berpikirnya. Sehingga meski seribu ayat dibacakan, belum tentu bisa menggerakkan hatinya. Tentu kita tidak bisa memvonis mereka sebagai kufur terhadap kitab dan sunnah. Bukan itu masalahnya. Tetapi cobalah pelajari paradigma berpikirnya dan mulailah meminjam paradigma berpikirnya itu untuk diarahkan kepada hal-hal yang selaras dengan Islam.
Landasan ketiga adalah metode pendekatan yang lembut, baik dan tidak terkesan ambisius. Jangan sampai dalam berdakwah fardiyah itu, objek dakwah langsung merasa akan di?kerjai?. Namun bangunlah keakraban, kedekatan dan persahabatan yang tulus dengan objek dakwah itu. Dan boleh jadi untuk periode awal seperti itu, kita belum diharuskan untuk langsung membombardirnya dengan dalil dan hujjah. Tapi bangunlah simpati dan kemesraan hati. Persis seperti ungkapan : Inna muhibba liman yuhibbu muthii?. Artinya bahwa orang yang mencintai seseorang pastilah taat kepadanya.
Misalnya dengan berbicara tentang hal-hal yang disukainya, atau sama-sama melakukan hobbi bersama, atau pergi dan jalan-jalan bersama. Kebersamaan itu akan melahirkan kedekatan hati. Dan pada saat itulah sebenarnya nilai-nilai dakwah baru bisa mulai diberikan sedikit demi sedikit.
Landasan ketiga adalah masalah doa dan kesabaran. Dakwah itu sifatnya mengajak, namun Allah SWT jualah yang akan memberikan hidayah kepadanya. Kita tidak punya otoritas untuk memberi hidayah.
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.(QS. Al-Qashash : 56).
Jadi doakanlah objek dakwah fardiyah Anda setiap hari dan bersabarlah atas proses sunnatullahnya. Karena tugas Anda hanya menyampaikan dan berusaha berdakwah. Anda tidak bertanggung-jawab untuk memberinya hidayah.

Juga ada kiat-kiat praktis dalam melakukan Dakwah Fardiya, Berikut Cuplikan “Kiat Praktis Dakwah Fardiyah” dari web Kotasantri.com;

Penulis : Syekh Mustafa Masyhur
KotaSantri.com : Merekrut manusia ke jalan Allah SWT merupakan amaliyah yang mahal. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, di antaranya melalui dakwah fardiyah. Banyak pengalaman orang lain dalam merekrut orang melalui dakwah fardiyah. Terkadang memang melakukan dakwah fardiyah memerlukan kiat tersendiri.
Berikut ini kiat praktis dakwah fardiyah :
1. Berupaya untuk membina hubungan dan mengenal setiap orang yang hendak didakwahi dan membangunnya dengan baik. Upaya ini untuk menarik simpati darinya agar hatinya lebih terbuka dan siap menerima perbincangan yang dapat diambil manfaat sehingga pembicaraan berikutnya dapat berlangsung terus. Pembinaan hubungan dengannya dilakukan secara intens sehingga obyek dakwah mengenal orang yang mengajaknya sebagai orang yang enak untuk berteman dan berkomunikasi.
2. Membangkitkan iman yang mengendap dalam jiwa. Pembicaraan hendaklah tidak langsung diarahkan pada masalah iman, namun sebaiknya berjalan secara tabi’i, seolah-olah tidak disengaja dengan memanfaatkan moment tertentu untuk memulai mengajaknya berbicara tentang persoalan keimanan. Melalui pembicaraan yang tabi’i, persoalan yang dipaparkan akan mudah mendapatkan sambutan. Dari sambutan yang disampaikannya mengenai beberapa hal dapat ditindaklanjuti dengan meningkatkan gairah keimanannya. Gairah keimanan yang timbul darinya akan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Dari situlah muncul perhatian yang besar terhadap masalah-masalah keislaman dan keimanan.
3. Membantu memperbaiki keadaan dirinya dengan mengenalkan perkara-perkara yang bernuansa ketaatan kepada Allah dan bentuk-bentuk ibadah yang diwajibkan. Pada tahap ini perlu pula dibekali dengan bahan-bahan bacaan dari referensi yang sederhana, seperti Dasar-dasar Islam, Prinsip-prinsip Islam (Abul ‘Alaa Al Maududi), dan lain-lainnya. Disamping bekalan bahan-bahan bacaan juga perlu diperkenalkan dengan lingkungan yang baik dan komunitas masyarakat yang shalih agar dapat menjaga nilai-nilai yang telah tertanam dan meneladani kehidupan orang shalih. Mutaba’ah dan pemantauan dalam tahap ini memerlukan kesabaran yang tinggi sehingga dapat membimbing perjalanannya di atas jalan dakwah dan terhindar dari faktor-faktor yang buruk.
4. Menjelaskan tentang pengertian ibadah secara syamil agar memiliki kepahaman yang shahih tentang ibadah disertai niat yang benar dan berdasarkan syara’. Pemahaman yang tidak sempit terhadap ibadah. Ibadah bukan sebatas rukun Islam yang empat saja (shalat, puasa, zakat, dan haji). Akan tetapi pengertian ibadah yang luas sehingga memahami bahwa setiap ketundukan seorang hamba padaNya dengan mengikuti aturan yang telah digariskan akan bernilai ibadah.
5. Menjelaskan kepada obyek dakwah bahwa keberagamaan kita tidak cukup hanya dengan keislaman diri kita sendiri. Hanya sebagai seorang muslim yang taat menjalankan kewajiban ritual, berperilaku baik dan tidak menyakiti orang lain lalu selain itu tidak ada lagi. Melainkan keberadaan kita mesti mengikatkan diri dengan keberadaan muslim lainnya dengan berbagai macam problematikanya. Pada tahap ini pembicaraan diarahkan untuk menyadarkan bahwa persoalan Islam bukan urusan perorangan melainkan urusan tanggung jawab setiap muslim terhadap agamanya. Perbincangan ini dilakukan agar mampu mendorongnya untuk berpikir secara serius tentang bagaimana caranya menunaikan tanggung jawab itu serta menjalankan segala tuntutan-tuntutannya.
6. Menjelaskan kewajiban untuk mengemban amanah umat dan permasalahannya. Kewajiban di atas tidak mungkin dapat ditunaikan secara individu. Masing-masing orang secara terpisah tidak akan mampu menegakkannya. Maka perlu sebuah jama’ah yang memadukan potensi semua individu untuk memperkuat tugas memikul kewajiban berat tersebut. Dari tahap ini obyek dakwah disadarkan tentang pentingnya amal jama’i dalam menyelesaikan tugas besar ini.
7. Menyadarkan padanya tentang kepentingan sebuah jama’ah. Pembicaraan ini memang krusial dan rumit sehingga memerlukan hikmah dan kekuatan argumentasi yang meyakinkan. Oleh karena itu harus dijelaskan padanya bahwa bergabung dengan sebuah jama’ah harus meneliti perjalanan jama’ah tersebut. Jangan sampai terburu-buru untuk menentukan pilihan terhadap sebuah jama’ah yang akan dijadikannya sebagai wahana merealisasikan dasar-dasar Islam.
Demikianlah langkah-langkah dalam melaksanakan dakwah fardiyah. Selamat mengamalkan, semoga Allah SWT memudahkan kita membimbing saudara-saudara kita ke jalanNya. Aamiin.

Orang yang besar dan agung ialah yang mengerti apa yang sedang dikerjakannya dan apa yang harus ia lakukan. “Dan Al Quran ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?”(QS. Al-Anbiyaa’ : 50)

Baca Selengkapnya
|

Oleh : Ukhti Ida

Bismillah..
Sesungguhnya hanya ada satu nama bagi kita: muslim. Nama lainnya hanyalah sarana untuk menuju kemusliman kita. Yang penting bukan siapa yang mengajak, tapi dengan cara apa dan terhadap apa kita diajak.

Benarkah kita telah berjuang?
Berjuang untuk apa dan siapa?

Ada baiknya kita mengingat nasehat Ustadz Ahzami Samiun Jazuli tentang muroja’ah manhaj/metode hidup kita. Jangan-jangan ada yang menyimpang? Manhaj kita adalah Al-Islam. Benarkah seluruh aktivitas kita mengacu pada Al-Islam? Atau kita sudah terjebak pada keangkuhan intelektualitas kita? Sehingga capaian intelektual itu telah menjadi acuan ketimbang ajaran Islam? Atau juga kita terjebak pada injazat siyasiyah, target-target politis? Sehingga hal tersebut menjadi pola pikir dalam berpolitik dan bermasyarakat. Ataupun kita yang dikenal al khabir (pakar) yang dipakai adalah tingkat kepakaran kita meski bertentangan dengan Islam? Muroja’ah! Cek kembali semua aktivitas kita. Sampai akhirnya kita benar-benar ‘alaa bashirah berada dalam manhaj. Ingat! Tidak akan ada faedahnya jika aktivitas kita jauh di luar manhaj Islam! (Jazaakallah khairan katsiira yaa ustadziy…)


Dakwah Partai Lewat Partai Dakwah

Mengapa kita berpikir sempit bahwa yang mereka bawa adalah partai? Hanya partai! Partai yang sudah terlanjur buruk citranya karena mengumbar janji-janji dusta. Partai yang berisi orang-orang kotor yang hanya berorientasi pada dunia. Partai yang menyebabkan adanya perpecahan dan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Bahkan ada sebagian dari kita yang menganggap dakwah dengan partai adalah haram dan bid’ah? Begitukah? Wallaahu ta’aala a’laamu…

Ah, siapa saya yang mampu membahas persoalan seperti ini. Dengan ilmu yang masih “cetek” dan baru mencicipi manisnya tarbiyah, saya tak lebih dari anak kemaren sore yang biasa disebut ABG (Akhwat Baru Ghiroh). Mungkin artikel ini, ini, atau ini bisa menjadi sedikit referensi.

Jujur, saya sangat takut keluar dari orbit dakwah. Saya sangat takut jika tak lagi bersama jama’ah. Takut tak bisa berkumpul lagi bersama orang-orang sholih dalam satu halaqoh.

Ketakutan-ketakutan itulah yang mengharuskanku dan semua kader dakwah untuk mempertahankan eksistensi! Eksistensi jama’ah yang telah dibangun dengan kesungguhan perjuangan dan keikhlasan bertahun-tahun lamanya oleh para masyaikh dakwah kita. Menjaga agar kebenaran tetap eksis di muka bumi. Menjaga agar sistem dan manhaj Islam terus berkembang dan tetap eksis di muka bumi. Sampai akhirnya dunia dan alam semesta mengakui eksistensi umat islam sebagai pengemban risalah dan pemangku amanah (khalifatullah) dapat menjalankan tugasnya dengan baik, menjaga eksistensi syari’at Islam dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Untuk memudahkan merealisasikan tugas-tugas dakwah itu, dibutuhkan payung hukum dan kekuatan struktural yang diakui secara sistem kenegaraan agar dakwah berjalan dengan “aman”. Jangan sampai kasus di masa lalu terulang kembali: Muslimah dilarang memakai jilbab, aktivis-aktivis dakwah diciduki, atau halaqoh secara sembunyi-sembunyi. Untuk itu, diperlukan kekuatan penopang, pelindung, dan penyempurna penerapan ajaran agama dan syari’ah. Dalam hal ini, penguasa adalah pihak yang memiliki kekuatan karena ucapannya didengar dan titahnya dijalankan. Masalahnya, penguasa seperti apa yang mau sadar melakukan tugas menopang, melindungi dan menyempurnakan ajaran islam? Tentu penguasa yang sholih dan mengerti. Bagaimana memilih orang yang sholih dan mengerti serta memiliki kekuasaan? Tentu harus melalui aturan main (mekanisme) yang telah terlanjur ada dan mapan di sebuah Negara. Umumnya, melalui jalur politik kepartaian. Begitulah alur yang harus dipahami dan dilalui jika ingin memperbaiki umat dengan syari’at. Apa jadinya jika umat Islam sendiri mengharamkan keberadaannya? Jalur apa yang dapat dijadikan sarana bagi aktivis Islam untuk bergerak dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera? Tentu kita tidak akan ridho jika kita dipimpin oleh orang-orang kafir, dzolim, atau fasik. Jadi, biarkan sebagian dari aktivis Islam bergerak mengikuti mekanisme yang ada sebagai jalur perjuangan yang mereka yakini. Nyatanya, Rasulullah pernah memanfaatkan kebiasaan masyarakatnya untuk mashlahat dakwah ketika kedudukan beliau masih lemah seperti keadaan aktivis dan umat Islam saat ini.

Sekali lagi, jangan berhenti pada pintu bernama partai, tapi bukalah dan lihatlah lebih jauh ke dalamnya. Ada ruangan yang begitu luas. Sangat luas! Ada cita-cita dakwah di sana. Ada visi misi dakwah yang dibawanya. Partai hanya salah satu sarana untuk mencapai sasaran dakwah (ashdafud da’wah) yang keempat (Bina’ul Daulatul Islam). Setelah terbentuknya pribadi-pribadi muslim, keluarga-keluarga islami dan membentuk masyarakat islami, diharapkan akan terbentuk Negara Islami, yaitu Negara yang pemerintahannya selalu melakukan amar ma’ruf nahi mungkar secara konsisten sehingga tumbuh masyarakat yang adil, beradab, dan sejahtera. Negara yang pemimpinnya beriman dan tunduk kepada hukum Allah. Dan kemudian, terbentuk dan terbinalah alam semesta ini dengan nilai-nilai islam. Dunia tunduk pada ajaran Allah secara menyeluruh. Pada waktu itulah, tidak ada lagi fitnah di muka bumi. Kaum muslimin pada waktu itu benar-benar telah menjadi rahmat bagi semesta alam (Bina’ul ustadziyatul ‘alaam). Berhenti pada satu sasaran dakwah adalah sikap pengecut! Sikap kepahlawanan muncul dari keberanian memperjuangkan seluruh sasaran dakwah, betapapun berat dan sukarnya jalan kea rah sana.

Ustadz Satria Hadi Lubis menjelaskan, era reformasi (demokratisasi) dalam suatu negara menyebabkan munculnya peluang bagi jama’ah untuk berkiprah di arena politik. Berpolitik adalah sarana untuk menyalurkan aspirasi jama’ah secara formal kenegaraan. Dengan berpolitik, jama’ah semakin mudah dan semakin cepat merealisasikan tujuannya, yakni membentuk masyarakat islami. Untuk berkecimpung dalam arena politik (formal dan legal) tak bisa tidak kecuali dengan membentuk partai politik. Parpol, sama halnya dengan organisasi masyarakat, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, dll hanya merupakan sarana yang dapat berwujud apa saja selama hal itu dianggap efektif untuk mengamalkan islam. Jika jama’ah masih tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist, maka masalah badan hukum adalah masalah yang bersifat situasional. Dengan ijtihad, para pemimpin jama’ah bisa saja menganggap bahwa partai merupakan badan hukum yang terbaik untuk keberlangsungan jama’ah pada situasi tertentu. Tapi, mungkin suatu ketika pendapat itu berubah, bergantung dari situasi yang berubah pula.

Sampai di sini, saya harap semua akan mengerucut pada satu pendapat, bahwa dakwah siyasi memang perlu! Kemudian, timbul lagi pertanyaan: Kenyataanya, realitas di lapangan seringkali terjadi penyimpangan. Ke mana idealisme kader dakwah yang dulu?

Lagi-lagi soal idealitas yang berbenturan dengan realitas.

Hmm…satu yang tak bisa ditawar-tawar lagi, bahwa idealisme harus menjadi pijakan dalam beramal. Ada titik yang ingin kita tuju. Titik idealitas! Walau pada tataran aplikasi, para kader dakwah kadangkala belum memenuhi tuntutan idealisme, sehingga selalu diperlukan introspeksi, evaluasi, dan reorientasi. Cita-cita perjuangan tidak boleh bergeser dengan adanya berbagai kendala teknis dan belum adanya daya dukung yang memadai bahkan seluruh kekuatan dan komponen bangsa menolaknya sekalipun. Kader dakwah harus tetap komitmen pada idealisme perjuangan. “Maka tetapah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah ebrtaubat beserta kamu da jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud: 112). Rasulullah juga berpesan pada Hudzaifah Ibnul Yaman, “berpegang teguhlah kamu pada jama’atul muslimin dan imamnya (idealisme) sekalipun kamu harus memakan akar-akar pepohonan”. (HR Bukhari).

Bangsa kita memang mayoritas muslim, tapi komitmen keislaman mereka rata-rata masih di bawah standar. Berapa persen dari mereka yang paham akan nilai-nilai islam? Karenanya, kader dakwah dituntut bersikap realistis dan rasional dalam menuju tereaisasinya hukum Allah. Bahkan, di kalangan kader sendiri mungkin terjadi kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan. Oleh karena itu, kita tidak boleh menutup mata terhadap masih banyaknya kekurangan, keterbatasan, tantangan, rintangan, dan hambatan yang terkadang memaksa jama’ah untuk mengambil kaidah “Al akhdzu bi akhaffi ad-dhororain” (mengambil salah satu dari dua mudharat yang paling ringan).
Sebisa mungkin, idealisme harus tetap dipertahankan, namun relaitas juga harus diperhitungkan.

Bukan hanya tujuan yang selalu mendapat perhatian, tapi cara yang kita gunakan untuk meraih tujuan juga harus senantiasa dijaga dalam keberkahan.

Kami berkorban untuk taat. Kami berkorban untuk tegaknya dienullah. Kami berkorban untuk menghentikan atau meminimalisasi kedholiman. Kami berkorban untuk membantu saudara-saudara kami yang tertindas. Kami berkorban untuk menyelamatkan moralitas anak-anak negeri ini. Dalam aktivitas dakwah, pengorbanan menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Pengorbanan ini seringkali mempunyai motivasi yang beraneka ragam. Mencapai target 20% suara misalnya. Oke, sah-sah saja. Target memang harus ada. Akan tetapi, motivasi yang senansiasa diajarkan oleh dakwah ini hanya satu: Ridho Allah ‘Azza wa Jalla. Dan caranya, juga harus berkah!

Satu lagi, kita adalah jama’atul insan bukan jama’atul malaikat. Setiap kita adalah manusia yang lemah dan tak berdaya kecuali Allah memberikan kekuatan pada kita. Kita tak lepas dari kesalahan dan kekhilafan, dan hanya dengan ampunan Allah-lah kita terselamatkan. Hanya dengan kekuatan dari Allah kita bisa istiqomah di jalan dakwah. Kita akan tetap militan bila kita bersama Allah…

Jangan kau caci kegelapan, tapi nyalakanlah pelita!


Ah, rasanya terlalu jauh diri ini berlaku SOK TAHU. ‘Afwan….

Kembali ke tema. Kader dakwah atau kader partai? Terserah jawaban pembaca. Tapi jika pertanyaan itu ditujukan ke ana, akan ana jawab dengan tegas: ‘Afwan, ane kader dakwah, bukan kader partai!


Hadaanallahu waiyyakum ajma’ain, Wallahu Ta’aala a’laamu bish-showaab…


“Ya Allah, kereta ini adalah sarana bagi kami untuk berfastabiqul khairat dan menyeru kepadaMu. Ya Allah, kereta ini adalah sarana bagi kami untuk bergerak dalam barisan yang rapi dan solid dalam rangka mengajak orang lain menjadi penyeru di jalanMu. Maka Ya Allah, jangan Engkau jadikan kereta ini membelokkan hati-hati kami dari selainMu. Jadikan tiap gerak langkah kami bahkan ketika kami menstrategi, mengkonsep, dan menjalankannya, tetapkanlah kami selalu mengingatiMu. Tiada tujuan lain selain menegakkan dienMu. Kereta ini sangat kecil sekali. Ia hanya salah satu wajihah untuk menuju ke sebuah tujuan yang besar: ISLAM sebagai USTADZIATUL ‘ALAAM.”


NB: Yang namanya aktivis, ya kudu aktif! Jangan cuma jadi penonton, komentator, atau pengamat dakwah. Terjunlah ke dalamnya! Bekerja dengan produktif, jangan cuma pandai mengkritik.

Baca Selengkapnya

Blog Archive