Glitter Words
|

Oleh : Ukhti Ida

Bismillah..
Sesungguhnya hanya ada satu nama bagi kita: muslim. Nama lainnya hanyalah sarana untuk menuju kemusliman kita. Yang penting bukan siapa yang mengajak, tapi dengan cara apa dan terhadap apa kita diajak.

Benarkah kita telah berjuang?
Berjuang untuk apa dan siapa?

Ada baiknya kita mengingat nasehat Ustadz Ahzami Samiun Jazuli tentang muroja’ah manhaj/metode hidup kita. Jangan-jangan ada yang menyimpang? Manhaj kita adalah Al-Islam. Benarkah seluruh aktivitas kita mengacu pada Al-Islam? Atau kita sudah terjebak pada keangkuhan intelektualitas kita? Sehingga capaian intelektual itu telah menjadi acuan ketimbang ajaran Islam? Atau juga kita terjebak pada injazat siyasiyah, target-target politis? Sehingga hal tersebut menjadi pola pikir dalam berpolitik dan bermasyarakat. Ataupun kita yang dikenal al khabir (pakar) yang dipakai adalah tingkat kepakaran kita meski bertentangan dengan Islam? Muroja’ah! Cek kembali semua aktivitas kita. Sampai akhirnya kita benar-benar ‘alaa bashirah berada dalam manhaj. Ingat! Tidak akan ada faedahnya jika aktivitas kita jauh di luar manhaj Islam! (Jazaakallah khairan katsiira yaa ustadziy…)


Dakwah Partai Lewat Partai Dakwah

Mengapa kita berpikir sempit bahwa yang mereka bawa adalah partai? Hanya partai! Partai yang sudah terlanjur buruk citranya karena mengumbar janji-janji dusta. Partai yang berisi orang-orang kotor yang hanya berorientasi pada dunia. Partai yang menyebabkan adanya perpecahan dan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Bahkan ada sebagian dari kita yang menganggap dakwah dengan partai adalah haram dan bid’ah? Begitukah? Wallaahu ta’aala a’laamu…

Ah, siapa saya yang mampu membahas persoalan seperti ini. Dengan ilmu yang masih “cetek” dan baru mencicipi manisnya tarbiyah, saya tak lebih dari anak kemaren sore yang biasa disebut ABG (Akhwat Baru Ghiroh). Mungkin artikel ini, ini, atau ini bisa menjadi sedikit referensi.

Jujur, saya sangat takut keluar dari orbit dakwah. Saya sangat takut jika tak lagi bersama jama’ah. Takut tak bisa berkumpul lagi bersama orang-orang sholih dalam satu halaqoh.

Ketakutan-ketakutan itulah yang mengharuskanku dan semua kader dakwah untuk mempertahankan eksistensi! Eksistensi jama’ah yang telah dibangun dengan kesungguhan perjuangan dan keikhlasan bertahun-tahun lamanya oleh para masyaikh dakwah kita. Menjaga agar kebenaran tetap eksis di muka bumi. Menjaga agar sistem dan manhaj Islam terus berkembang dan tetap eksis di muka bumi. Sampai akhirnya dunia dan alam semesta mengakui eksistensi umat islam sebagai pengemban risalah dan pemangku amanah (khalifatullah) dapat menjalankan tugasnya dengan baik, menjaga eksistensi syari’at Islam dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Untuk memudahkan merealisasikan tugas-tugas dakwah itu, dibutuhkan payung hukum dan kekuatan struktural yang diakui secara sistem kenegaraan agar dakwah berjalan dengan “aman”. Jangan sampai kasus di masa lalu terulang kembali: Muslimah dilarang memakai jilbab, aktivis-aktivis dakwah diciduki, atau halaqoh secara sembunyi-sembunyi. Untuk itu, diperlukan kekuatan penopang, pelindung, dan penyempurna penerapan ajaran agama dan syari’ah. Dalam hal ini, penguasa adalah pihak yang memiliki kekuatan karena ucapannya didengar dan titahnya dijalankan. Masalahnya, penguasa seperti apa yang mau sadar melakukan tugas menopang, melindungi dan menyempurnakan ajaran islam? Tentu penguasa yang sholih dan mengerti. Bagaimana memilih orang yang sholih dan mengerti serta memiliki kekuasaan? Tentu harus melalui aturan main (mekanisme) yang telah terlanjur ada dan mapan di sebuah Negara. Umumnya, melalui jalur politik kepartaian. Begitulah alur yang harus dipahami dan dilalui jika ingin memperbaiki umat dengan syari’at. Apa jadinya jika umat Islam sendiri mengharamkan keberadaannya? Jalur apa yang dapat dijadikan sarana bagi aktivis Islam untuk bergerak dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera? Tentu kita tidak akan ridho jika kita dipimpin oleh orang-orang kafir, dzolim, atau fasik. Jadi, biarkan sebagian dari aktivis Islam bergerak mengikuti mekanisme yang ada sebagai jalur perjuangan yang mereka yakini. Nyatanya, Rasulullah pernah memanfaatkan kebiasaan masyarakatnya untuk mashlahat dakwah ketika kedudukan beliau masih lemah seperti keadaan aktivis dan umat Islam saat ini.

Sekali lagi, jangan berhenti pada pintu bernama partai, tapi bukalah dan lihatlah lebih jauh ke dalamnya. Ada ruangan yang begitu luas. Sangat luas! Ada cita-cita dakwah di sana. Ada visi misi dakwah yang dibawanya. Partai hanya salah satu sarana untuk mencapai sasaran dakwah (ashdafud da’wah) yang keempat (Bina’ul Daulatul Islam). Setelah terbentuknya pribadi-pribadi muslim, keluarga-keluarga islami dan membentuk masyarakat islami, diharapkan akan terbentuk Negara Islami, yaitu Negara yang pemerintahannya selalu melakukan amar ma’ruf nahi mungkar secara konsisten sehingga tumbuh masyarakat yang adil, beradab, dan sejahtera. Negara yang pemimpinnya beriman dan tunduk kepada hukum Allah. Dan kemudian, terbentuk dan terbinalah alam semesta ini dengan nilai-nilai islam. Dunia tunduk pada ajaran Allah secara menyeluruh. Pada waktu itulah, tidak ada lagi fitnah di muka bumi. Kaum muslimin pada waktu itu benar-benar telah menjadi rahmat bagi semesta alam (Bina’ul ustadziyatul ‘alaam). Berhenti pada satu sasaran dakwah adalah sikap pengecut! Sikap kepahlawanan muncul dari keberanian memperjuangkan seluruh sasaran dakwah, betapapun berat dan sukarnya jalan kea rah sana.

Ustadz Satria Hadi Lubis menjelaskan, era reformasi (demokratisasi) dalam suatu negara menyebabkan munculnya peluang bagi jama’ah untuk berkiprah di arena politik. Berpolitik adalah sarana untuk menyalurkan aspirasi jama’ah secara formal kenegaraan. Dengan berpolitik, jama’ah semakin mudah dan semakin cepat merealisasikan tujuannya, yakni membentuk masyarakat islami. Untuk berkecimpung dalam arena politik (formal dan legal) tak bisa tidak kecuali dengan membentuk partai politik. Parpol, sama halnya dengan organisasi masyarakat, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, dll hanya merupakan sarana yang dapat berwujud apa saja selama hal itu dianggap efektif untuk mengamalkan islam. Jika jama’ah masih tetap berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist, maka masalah badan hukum adalah masalah yang bersifat situasional. Dengan ijtihad, para pemimpin jama’ah bisa saja menganggap bahwa partai merupakan badan hukum yang terbaik untuk keberlangsungan jama’ah pada situasi tertentu. Tapi, mungkin suatu ketika pendapat itu berubah, bergantung dari situasi yang berubah pula.

Sampai di sini, saya harap semua akan mengerucut pada satu pendapat, bahwa dakwah siyasi memang perlu! Kemudian, timbul lagi pertanyaan: Kenyataanya, realitas di lapangan seringkali terjadi penyimpangan. Ke mana idealisme kader dakwah yang dulu?

Lagi-lagi soal idealitas yang berbenturan dengan realitas.

Hmm…satu yang tak bisa ditawar-tawar lagi, bahwa idealisme harus menjadi pijakan dalam beramal. Ada titik yang ingin kita tuju. Titik idealitas! Walau pada tataran aplikasi, para kader dakwah kadangkala belum memenuhi tuntutan idealisme, sehingga selalu diperlukan introspeksi, evaluasi, dan reorientasi. Cita-cita perjuangan tidak boleh bergeser dengan adanya berbagai kendala teknis dan belum adanya daya dukung yang memadai bahkan seluruh kekuatan dan komponen bangsa menolaknya sekalipun. Kader dakwah harus tetap komitmen pada idealisme perjuangan. “Maka tetapah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah ebrtaubat beserta kamu da jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud: 112). Rasulullah juga berpesan pada Hudzaifah Ibnul Yaman, “berpegang teguhlah kamu pada jama’atul muslimin dan imamnya (idealisme) sekalipun kamu harus memakan akar-akar pepohonan”. (HR Bukhari).

Bangsa kita memang mayoritas muslim, tapi komitmen keislaman mereka rata-rata masih di bawah standar. Berapa persen dari mereka yang paham akan nilai-nilai islam? Karenanya, kader dakwah dituntut bersikap realistis dan rasional dalam menuju tereaisasinya hukum Allah. Bahkan, di kalangan kader sendiri mungkin terjadi kesalahan, kekhilafan, dan kekeliruan. Oleh karena itu, kita tidak boleh menutup mata terhadap masih banyaknya kekurangan, keterbatasan, tantangan, rintangan, dan hambatan yang terkadang memaksa jama’ah untuk mengambil kaidah “Al akhdzu bi akhaffi ad-dhororain” (mengambil salah satu dari dua mudharat yang paling ringan).
Sebisa mungkin, idealisme harus tetap dipertahankan, namun relaitas juga harus diperhitungkan.

Bukan hanya tujuan yang selalu mendapat perhatian, tapi cara yang kita gunakan untuk meraih tujuan juga harus senantiasa dijaga dalam keberkahan.

Kami berkorban untuk taat. Kami berkorban untuk tegaknya dienullah. Kami berkorban untuk menghentikan atau meminimalisasi kedholiman. Kami berkorban untuk membantu saudara-saudara kami yang tertindas. Kami berkorban untuk menyelamatkan moralitas anak-anak negeri ini. Dalam aktivitas dakwah, pengorbanan menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Pengorbanan ini seringkali mempunyai motivasi yang beraneka ragam. Mencapai target 20% suara misalnya. Oke, sah-sah saja. Target memang harus ada. Akan tetapi, motivasi yang senansiasa diajarkan oleh dakwah ini hanya satu: Ridho Allah ‘Azza wa Jalla. Dan caranya, juga harus berkah!

Satu lagi, kita adalah jama’atul insan bukan jama’atul malaikat. Setiap kita adalah manusia yang lemah dan tak berdaya kecuali Allah memberikan kekuatan pada kita. Kita tak lepas dari kesalahan dan kekhilafan, dan hanya dengan ampunan Allah-lah kita terselamatkan. Hanya dengan kekuatan dari Allah kita bisa istiqomah di jalan dakwah. Kita akan tetap militan bila kita bersama Allah…

Jangan kau caci kegelapan, tapi nyalakanlah pelita!


Ah, rasanya terlalu jauh diri ini berlaku SOK TAHU. ‘Afwan….

Kembali ke tema. Kader dakwah atau kader partai? Terserah jawaban pembaca. Tapi jika pertanyaan itu ditujukan ke ana, akan ana jawab dengan tegas: ‘Afwan, ane kader dakwah, bukan kader partai!


Hadaanallahu waiyyakum ajma’ain, Wallahu Ta’aala a’laamu bish-showaab…


“Ya Allah, kereta ini adalah sarana bagi kami untuk berfastabiqul khairat dan menyeru kepadaMu. Ya Allah, kereta ini adalah sarana bagi kami untuk bergerak dalam barisan yang rapi dan solid dalam rangka mengajak orang lain menjadi penyeru di jalanMu. Maka Ya Allah, jangan Engkau jadikan kereta ini membelokkan hati-hati kami dari selainMu. Jadikan tiap gerak langkah kami bahkan ketika kami menstrategi, mengkonsep, dan menjalankannya, tetapkanlah kami selalu mengingatiMu. Tiada tujuan lain selain menegakkan dienMu. Kereta ini sangat kecil sekali. Ia hanya salah satu wajihah untuk menuju ke sebuah tujuan yang besar: ISLAM sebagai USTADZIATUL ‘ALAAM.”


NB: Yang namanya aktivis, ya kudu aktif! Jangan cuma jadi penonton, komentator, atau pengamat dakwah. Terjunlah ke dalamnya! Bekerja dengan produktif, jangan cuma pandai mengkritik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Archive